17 Tahun dari Sekarang….

Waktu.

Berjalan selalu.

Tidak berhenti. Tidak pula beristirahat walau sekejap.

kincir angin

Kita yang mungkin menurut kita masih begini-begini saja ini, ternyata semakin hari semakin menua.

Anak-anak kecil yang dulu kita kenal, tanpa disadari telah meremaja, mendewasa. Begitupun diri kita, sudah berada di fase kehidupan selanjutnya.

Harus bekerja, harus berkomitmen, harus bertanggung jawab, dan berbagai keharusan lain yang kini menjadi kewajiban yang harus dilakukan.

Tanpa kita sadari, bersamaan dengan itu semua …….. kita menua. 🙂

langit

 

17 tahun dari sekarang, usiaku mungkin telah mencapai usia 40-an.

Mungkin saat itu, telah muncul satu, dua, atau bahkan lebih banyak kerutan di wajahku.

Mungkin sedikit atau banyak uban telah menghiasi kepalaku.

Tenagaku pun mungkin tak sebanyak dan semudah hari ini.

 

Aku tidak pernah menyesali waktu yang telah berlalu, karena apa yang terjadi, apa yang aku lakukan di masa lalu-lah yang membentukku jadi pribadiku hari ini.

Satu-satunya yang kukhawatirkan adalah masa depan.

Apakah saat itu aku telah siap berada pada usiaku saat itu?

Apakah aku sanggup, ketika satu persatu orang yang kusayang pergi meninggalkanku satu persatu, perlahan tapi teramat pasti?

Apakah saat itu aku sudah menjadi manusia yang lebih baik dari hari ini? Atau justru sebaliknya? naudzubillah.

Seketika banyak rencana yang ingin dilakukan sebelum kumencapai usia-usia menua tersebut.

Terkadang aku bertanya pada orang-orang yang telah melangkah mendewasa lebih dulu dariku, “Kalau kamu bisa kembali ke usiaku, hal apa sih yang sangat ingin kamu lakukan?” tanyaku.

“Kenapa kamu bertanya begitu?” jawab mereka.

Nggak, aku hanya ingin memastikan kelak aku tidak menyesal atas apapun di masa depan”, ungkapku.

Lalu, kebanyakan mereka menjawab, “Menikmati hidup tanpa harus membebani kita di masa depan”.

Ya, itu jawaban mereka.

Terdengar membingungkan, tapi itulah adanya. Banyak yang terus menerus menjalani hidup, bertanggung jawab atas banyak hal, melakukan rutinitas bertahun-tahun, tanpa menikmati bagaimana indahnya kehidupan itu sendiri. Khidupan yang teramat berharga yang telah Tuhan beri untuk kita. Seraya aku-pun merenung,

Apakah selama ini aku sudah menikmati hidupku?” 🙂

air mengalir

Seketika aku ingin menghapal qur’an, cita-cita sejak kecil yang belum tercapai,

Ingin berkeliling melihat indahnya dunia, alam ciptaanNya,

Ingin menghabiskan waktu bersama orang-orang baik yang kusayang,

dan seterusnya.

 

Banyak ya harapanku. :’)

Semoga aku bisa mewujudkannya, tanpa perlu lupa untuk menikmati hidup itu sendiri.

Terimakasih diriku, sudah menyadari untuk menyiapkan diri sambil menikmati hidup lebih awal.

Kalau kamu? Sudah menyiapkan dirimu dan menikmati hidup belum? 🙂

 

Mardiana Zulfa
2 September 2020
Selepas hujan, di maghrib yang tenang.

 

Rp20.000,- yang Abadi

rain

Sore itu, ketika aku masih kecil, belum juga duduk di bangku SD, aku mengalami kejadian yang tak pernah kulupakan seumur hidup….

Ana saat itu duduk termangu sambil khawatir, kenapa Ana kecil bersedih? Karena saat itu, Aku baru saja kehilangan uang yang Mamah beri untuk membayar SPP bulanan TPA-ku (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Aku ingat sekali menaruh uang itu di tasku, tas berwarna biru dengan gambar lemon di depannya.

Waktu itu bangunan tempat pengajianku memang sedang direnovasi, sehingga kelas kami pindah ke masjid agar pembelajaran tetap berlangsung. Akibat dari pemindahan ini, banyak kelas yang agak tercampur satu sama lain karena memang ruangnya terbatas.

Dan kejadian naas itupun berlangsung, ketika aku mau memberi uang spp ku kepada guruku, Bu Imas, kartu serta uang spp 20.000-ku hilang. Aku panik dan sedih. Kala itu, uang itu masih termasuk sangat bernilai bagiku dan keluargaku. Semua teman-temanku se-masjid membantuku mencari uang itu, namun dimana-mana tidak ada. Sampai kuperiksa isi tas teman-temanku, tidak pernah kutemukan.  Akhirnya aku memasrahkan uang itu hilang dan pulang dengan wajah sedih serta khawatir.

Aku takut dimarahi mamahku, meski aku tau mamah bukan memarahiku karena jumlah uangnya, namun karena kecerobohanku. Benar saja, mamah memarahiku dengan kata-kata, “Ana, kan mamah bilang, kalo gurunya udah dateng langsung dikasih, jangan dinanti-nanti, gimana sih?!” ucapnya. Hatiku sedih mengingat cerobohnya diriku saat itu.

Tak lama kemudian, Papah pun pulang. Heran melihatku bersedih, Mamah pun bercerita tentang apa  yang baru saja terjadi, “Ana uang SPP-nya ilang Pah, ditinggal waktu main” ucap Mamah. Papahku yang kupikir akan lebih marah lagi daripada mamahku pun sontak menggendongku dan herannya entah kenapa aku malah menangis (yang mana daritadi dimarahi mamah aku tak menangis sedikitpun).

“Yaudah gausah nangis, gapapa uangnya ilang, liat nih uang papah masih banyak di dompet” ucap Papah seraya menunjukkan isi dompetnya padaku.

Kulihat lembaran uang di dalamnya, aku lihat wajah papahku, dan aku terus saja menangis….

Kuingat, saat itu papahku baru saja pulang ngojek, iya, sesusah itu dahulu keluarga kami, sampai-sampai sepulang Papah kerja ia sempatkan beberapa jam untuk mencari nafkah tambahan. Aku menangis karena aku baru saja menghilangkan uang yang orangtuaku cari susah payah… (Uang 20.000 saat itu cukup untuk mamahku belanja beras, bahan makanan untuk dimasak, serta uang jajanku dan kakakku). :’)

Setelah itu, Papahku menyuruh Mamah untuk mendatangi rumah guruku dengan membawa uang SPP ganti dari uang yang telah hilang, karena sekecil apapun, Papahku sangat memberi perhatian besar bagi pendidikan anak-anaknya. Uang SPP dan biaya-biaya sekolah kami sangat diusahakan dibayar sesuai waktunya dan sejumlah besarannya, jangan sampai terlambat. Masya Allah, barakallahu fiik.

Sesampainya di rumah guruku. Guruku pun mengatakan, “Tidak perlu Bu, setelah kami cari lebih detail, ternyata ada uang 18.000 di sela-sela sandal anak-anak. Sepertinya yang mengambil tidak tega menghabiskan uang itu dan takut mengembalikannya. Jadi kami anggap itu uang Ana dan ibu tidak usah menambah lagi kekurangannya ya.”

“Oh begitu, makasih ya Bu” jawab mamahku.

Akhirnya kami pulang dan permasalahan di hari itupun selesai dengan sederhananya. Tapi bagiku? Kejadian ini sangat membekas di hati. Sampai saat ini. Sampai detik ini. Aku selalu ingat bagaimana hangatnya pelukan Papah saat menggendongku, menghiburku untuk tidak perlu bersedih karena kehilangan, dan yang terpenting bagaimana kurasakan Ia sangat menyayangiku dengan begitu besarnya. Memori semasa kecil yang begitu indah untuk dikenang dan membuatku berpikir ribuan kali tatkala ingin membantah/melawannya di waktuku beranjak dewasa. Juga menjadi pelajaran berharga bagiku bagaimana menyikapi sesuatu ketika menjadi orangtua kelak, insyaallah….

Beliau laki-laki pertama yang menyayangiku tanpa syarat,

Yang selalu mencukupiku, tanpa mengharap balasan apapun,

Yang tidak memarahiku, ketika aku salah,

Yang menghiburku, ketika aku sedih,

Yang mendekapku dengan hangat, meskipun ia lelah,

Yang tak pernah lupa terucap dalam doaku, agar dirinya sehat selalu dan Allah mengampuni dosa-dosanya juga memberkahi usianya yang kini telah senja….

Dari putri kecilmu yang sudah tidak kecil lagi,

Untuk seluruh kasih sayangmu yang tak pernah bisa dihitung,

Terimakasih, Pah …. I love you as my first and forever love….

IMG_20190612_015815
Semoga sehat selalu Papah 🙂

 

Pamulang, 4 Oktober 2019

///di bawah rembulan malam, yang bersyukur masih berada dalam dekapan keluarga///